IPB goes to field.
Program yang selama 3 minggu kemarin mengisi hari-hari saya. Hari-hari saya
yang semestinya telah dapat diisi dengan kegiatan liburan menyenangkan bersama
keluarga maupun teman-teman yang merelaxkan dan menghibur diri. IGTF ini tak
seperti bayangan awal saya ketika diajak seorang teman mengikuti program ini.
Jujur, saya awalnya tak berminat maupun pernah mendengar tentang program ini.
Kemudian, karena keisengan belaka di akhir deadline waktu pengumpulan berkas
peserta, saya mengikutinya. Tak disangka saya diterima.. program di Garut. Namun,
melewati beberapa pertimbangan, pikiran dan segala rayuan, saya mengajukan
pindah ke program di Bogor. Tepatnya pada tanggal 24 Juni kemarin, saya dan 14
peserta lain berangkat ke tujuan Kecamatan Klapanunggal. Bersama tim saya yaitu
Abim, Dedy, Nur, kami menginjakkan kaki di Desa Kembang Kuning pada tanggal 25
Juni, di sebuah rumah kontrakan milik sekretaris desa yang 2 bulan belum
ditempati. Kondisi rumah yang saat itu terbilang kurang layak dengan banyak
bolongan di sana sini, kotor, rumput liar memenuhi halaman depan dan tanpa
fasilitas yang ada. Namun, saya dan tim tetap survive untuk menjalankan program yang tak saya kira seperti di
awal. Program IGTF Bogor adalah posdaya di 4 desa, masing-masing desa dibagi
menjadi satu tim yang terdiri dari 3 atau 4 orang.
Dan jujur lagi, di awal
saya mengira saya akan bisa menikmati sejuknya udara pedesaan, memanjakan mata
dengan hijaunya persawahan dan langit biru. Namun, ternyata tak seperti itu.
tak ada sawah hijau luas nan membentang, yang ada angin debu. Desa Kembang
Kuning menurut saya tidak tepat lagi disebut desa, keadaan masyarakat telah
bergeser ke kehidupan industri. kecewa memang ada di awal. Tapi saya harus
menjalani apa yang ada di depan mata. Bukan berarti saya menyesal dan terpaksa.
IGTF posdaya Bogor ini
saya pikir tidak seperti IGTF di daerah lain yang notabenenya telah memiliki
gambaran kegiatan apa yang akan dilakukan. Di sini, kami benar-benar diuji dan
mencari sendiri apa yang harus kami lakukan di masyarakat ini.
Program posdaya ini membawa kami lebih
dekat ke kehidupan masyarakat, lebih mengetahui kenyataan yang ada di
masyarakat yang selama ini hanya dilihat di tivi atau melalui bacaan. Kami
banyak mendengar dan belajar dari masyarakat. Melalui wawancara dan cerita
segelintir petani yang tersisa cukup membuka mata dan pikiran tentang kehidupan
mereka di tengah industri dan pendirian pabrik yang merajalela.
Pertanian adalah sumber
makanan pokok Indonesia, sumber besar sumberdaya Indonesia dahulunya. Pertanian
membawa hijau segar ke kehidupan masyarakat, tak seperti saat ini udara
dipenuhi sesak debu industri. Masyarakat seakan kaum kecil lemah yang tak dapat
bertindak banyak terutama petani kecil yang tak sanggup membela dirinya.
Kehidupan industri merubah kehidupan pertanian dan memberi dampak yang
sedemikian rupa besarnya. Petani yang dahulu memiliki lahan pertanian sendiri
dikarenakan mulai menurunnya ekonomi pertanian harus menjual lahan mereka
kepada industri. Lahan yang Lahan yang hijau membentang berganti menjadi pabrik
penuh debu. Hijau sedikit demi sedikit menghilang.
Para petani kecil
dengan segala keterbatasan pengetahuan bahkan di antaranya tidak dapat membaca
dan menulis tetap gigih menggarap meski di lahan orang, lahan proyek industri.
Mereka tetap yakin pertanian akan ada 5 tahun ke depan. Sangat miris bagi saya
ketika mendengar ucapan mereka terlontar langsung. Mereka berharap pertanian ke
depan lebih maju karena mereka mengira teknologi maju sekarang akan membawa
pertanian ke arah yang lebih maju pula. Satu lagi semangat mereka di tengah
himpitan ekonomi dan kehidupan pertanian ini adalah rasa berbagi sesama. Hasil
pertanian yang digarap untuk memenuhi kebutuhan sendiri meskipun sedikit tetap
dibagi untuk tetangga. Kepasrahan sangat jelas dari ucapan mereka akan masa
depan ketika lahan proyek yang digarap akan diambil alih proyek.
Industri sendiri
menyadari dampak yang mereka bawa akan kehidupan masyarakat. Industri mulai
melakukan program lingkungan. Tapi, bukan bermaksud memihak salah satu pihak,
program lingkungan yang tidak dilakukan dari dahulu saya rasa akan sulit
mengembalikan hijau yang dulu ada. Kerusakan yang pernah terjadi seringkali
bersifat tidak dapat kembali alias irreversibel. Teknologi lingkungan yang ada
pun tak sesempurna ciptaan yang Maha Kuasa. Ada saja dampak lain yang
diakibatkannya. Masyarakat kecil lagi-lagi menjadi sasarannya.
Frontal untuk diakui
namun sekadar menyampaikan persepsi. Saya sendiri berpikiran seakan-akan
industri menutup mulut masyarakat dengan program-program yang dilancarkan.
Masyarakat yang terkena dampak industri seakan dipayungi industri.
Kadang saya berpikir,
bagaimana kehidupan para petani di tengah industri ini, di usia para petani
yang tidak lagi muda, lahan yang semakin menyempit, pemindahtanganan
kepemilikan lahan ke industri, pengetahuan yang rendah, kesadaran akan
pertanian yang sedikit. Mereka para petani usia emas yang masih memiliki
kesadaran dan keikhlasan tinggi menggarap pertanian akankah tetap dapat
mempertahankan masa depan pertanian dikala anak cucu mulai memandang sebelah
mata kehidupan pertanian. Akan seperti apakah pertanian beberapa tahun ke
depan? Akankah negeri hijau tetap ada atau malah menjadi negeri kelam penuh
debu?

Tidak ada komentar:
Posting Komentar